Berawal dari keluhan hidung buntu dan nafas yang agak susah karena alergi dingin saat menjelang tidur, kami berusaha melakukan antisipasi maksimal. Cetirizine yang sudah setahun lebih tidak lagi diminum adik, akhirnya kami rutinkan lagi setelah kejadian pertama. Membalurkan minyak kutus-kutus ke badan dan menyelimuti adik menjadi upaya kami malam itu. Saya pun rasanya hanya tertidur sejenak sambil memeluk tubuhnya.
Tiba-tiba saya terbangun melihat kondisi adik berubah, ekspresi wajah yang sama seperti minggu lalu. Dengan panik saya membangunkan suami yang sudah tertidur di kasur atas. Saat itulah kekacauan terjadi, kami tidak dapat menemukan tas saya yang berisi obat kejang, rasanya saya sudah sangat berhati-hati menyimpan di tempat yang sama. Namun mengapa tiba-tiba menghilang saat dibutuhkan? Rasanya saya ingin marah dan berteriak saja pada semua orang. Hampir seluruh area menjadi berantakan. Saya sangat panik dan stres hingga menangis sejadi-jadinya. Ayah saya terus memegangi kepala adik sambil berdzikir. Ada satu gerakan tangan kanan tambahan yang tidak terkontrol. Saya terus saja menangis karena tidak bisa memberikan obat yang seharusnya dimasukkan lewat dubur itu.
Entah berapa menit waktu berlalu, perlahan adik sadar kembali. Ekspresi wajahnya yang bingung dan kesulitan bicara kembali membuat saya menangis tersedu-sedu. Sesuatu yang mengingatkan saya pada kondisi seseorang yang terkena stroke. Saya merasa sangat takut hingga sepertinya tidak bisa berhenti menangis. Akhirnya malam itu kami memutuskan untuk pindah ke kamar belakang yang memang rasanya lebih hangat. Setelah suasana lebih tenang, sayapun terbata-bata meminta agar kami kembali ke Jakarta sesegera mungkin. Rencana awal untuk melanjutkan PJJ anak-anak dan WFH suami di Bandung dibatalkan. Dinginnya Bandung dan rumah yang nyaman tempat saya dibesarkan sepertinya tiba-tiba terasa menakutkan bagi kami berdua khususnya, walaupun sebenarnya belum jelas apa penyebab adik kejang malam itu.
Setelah suasana lebih tenang barulah saya menyadari. Ternyata tas yang sejak tadi kami cari, entah siapa yang membawanya ke kamar, namun ternyata sangat dekat dengan posisi saya saat kejadian tadi dan sudah tertutup dengan selimut sehingga tidak seorang pun yang melihatnya. Akhirnya malam itu suami saya memutuskan agar salah satu dari kami bertiga, saya, dia dan kakak untuk bergantian jaga. Kalau sudah ada yang merasa mengantuk maka harus membangunkan yang lain agar ada yang mengawasi adik malam itu. Kakak mengajukan diri untuk berjaga giliran pertama. Saya lihat dia masuk ke kamar sambil membawa hp, kertas dan bolpen. Sekilas saya menebak, mungkin untuk menahan agar tidak mengantuk dia mencari informasi tentang jurusan kuliah yang selama ini mulai dilakukan. Namun ternyata saya salah. Keesokan harinya barulah kakak memberi tahu saya bahwa malam itu dia mencari informasi seputar rumah sakit tempat pemeriksaan neurologi anak yang banyak dijadikan rujukan, di Singapura. MasyaAllah, sesuatu yang tidak pernah saya sangka sebelumnya. Bahkan saat kejadian kejang pertama minggu lalu ternyata kakak sebagai generasi yang sangat akrab dengan gawai itu, diam-diam membisikkan sesuatu pada saya. "Dari yang aku lihat di youtube, kayanya adek itu kejang deh mah, disebut epilepsi…"